Sabtu, 08 Juni 2013

Kesehatan Mental



Tulisan III

Cinta dan Perkawinan

Nah…. Setelah saya membahas tentang hubungan interpersonal, maka saatnya menuju tentang akhir dari hubungan interpersonal. Kita semua setuju bukan, kalau ujung dari hubungan interpersonal, pasti berkaitan dengan cinta dan perkawinan. Maka dari itu, saya akan mencoba membahas tentang apa itu cinta? Cinta yang saya bahas disini bukanlah cinta yang dialami oleh kaum labil seperti remaja, tetapi cinta yang mengarah pada perkawinan. Menempuh jalan cinta dengan perkawinan adalah pilihan bagi setiap orang. Makna cinta itu sangatlah banyak, maka disini saya akan mencoba menjelaskannya secara spesifik mengenai cinta, khususnya cinta dan perkawinan.

1.    Deskripsi cinta dan perkawinan

Y      Cinta

Menurut kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S Poerwadarminta, cinta adalah rasa sangat suka (kepada) atau (rasa) sayang (kepada), ataupun (rasa) sangat kasih atau sangat tertarik hatinya. cinta yang aku maksud di sini adalah cinta dengan lawan jenis. Menurut Sternberg (dalam Sternberg & Barnes, 1988), cinta bukanlah suatu kesatuan tunggal, melainkan gabungan dari berbagai perasaan, hasrat, dan pikiran yang terjadi secara bersamaan sehingga menghasilkan perasaan global yang dinamakan cinta. 

Sternberg (1988) memiliki teori tentang cinta yang dikenal sebagai teori segitiga cinta (The Triangular Theory of Love). Dalam teori segitiga cintanya tersebut, Sternberg mencirikan cinta terdiri dari tiga komponen, yaitu keakraban atau keintiman(intimacy), gairah (passion), keputusan atau komitmen (decision/commitment). Keakraban atau keintiman adalah perasaan dalam suatu hubungan yang meningkatkan kedekatan, keterikatan, dan keterkaitan.  Sebuah hubungan akan mencapai keintiman emosional manakala kedua pihak saling mengerti, terbuka, saling mendukung, dan merasa bisa berbicara mengenai apa pun juga tanpa merasa takut ditolak. 

Gairah meliputi rasa kerinduan yang dalam untuk bersatu dengan orang yang dicintai yang merupakan ekspresi hasrat dan kebutuhan seksual atau dengan kata lain bahwa passion merupakan elemen fisiologis yang menyebabkan sesorang ingin dekat secara fisik. Sedangkan Keputusan atau komitmen adalah suatu ketetapan seseorang untuk bertahan bersama sesuatu atau seseorang sampai akhir. Menurut Sternberg, kondisi cinta yang ideal akan tercipta apabila ketiga komponen cinta tersebut seimbang sehingga membentuk segitiga sama sisi (yang menandakan bentuk cinta yang ideal sesuai dengan teori segitiga cintanya yaitu The Triangular Theory of Love).

Y      Perkawinan

            Banyak konsep yang berbeda menjelaskan tentang definisi perkawinan. Duvall dan Miller (1986) mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan istri. Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 1 No 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).
            Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) menambahkan bahwa perkawinan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri.
            Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan definisi perkawinan adalah ikatan lahir dan batin yang suci antara pria dan wanita yang melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian peran suami – istri serta adanya keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional antara suami dan istri.

Referensi:


2.    Bagaimana memilih pasangan

Dalam memilih pasangan hidup, baik bagi laki-laki maupun perempuan keduanya memiliki hak untuk memilih yang paling tepat sebagai pasangannya. Maka dari itu harus benar-benar diperhitungkan ketika memilih pasangan yang baik. Bila ingin pintar, seseorang harus rajin belajar, bila ingin kaya seseorang harus berhemat, begitu pula tentang pasangan hidup. Bila menginginkan pasangan hidup yang baik maka kita juga harus baik.
Tidak ada sesuatu di dunia ini yang dapat dengan mudah kita peroleh tanpa adanya pengorbanan. Segala sesuatu ada harga-nya termasuk bila ingin mendapatkan pasangan hidup yang baik. Ya, dimulai dari diri sendiri. Bila kita bercita-cita untuk mendapatkan pasangan hidup yang baik, maka kita sendiri harus baik. Percayalah, Tuhan telah memasangkan manusia sesuai dengan karakter dan derajat mereka masing-masing. Manusia yang baik hanyalah untuk manusia yang baik pula, begitu pula sebaliknya.
Julianto Simanjuntak dalam bukunya, menekankan bahwa dalam memilih pasangan harus ada kesepadanan alias kecocokan. Karena ketika pada awal-awal berpacaran, kita sering lupa mengenali kepribadian dan latar belakang pasangan. Jadi, cinta itu bukan hanya sekedar mencintai atau dicintai. Tapi juga dituntut memahami latar belakang dan kepribadian pasangan anda dengan sepenuhi hati.

Referensi :
Julianto,Simanjuntak.2012. Banyak Cocok Sedikit Cekcok, Seni Memilih Teman Hidup dan Berpacaran Dewasa.Jakarta:Yayasan Peduli Konseling Nusantara (PELIKAN)




3.    Seluk-beluk hubungan dalam Perkawinan

Dawn J. Lipthrott, LCSW, seorang psikoterapis dan juga marriage and relationship educator and coach, mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam kehidupan perkawinan, yaitu :
Y      Tahap pertama : Romantic Love
Tahap ini adalah saat Anda dan pasangan merasakan gelora cinta yang menggebu-gebu. Ini terjadi di saat bulan madu pernikahan. Anda dan pasangan pada tahap ini selalu melakukan kegiatan bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta.

Y      Tahap kedua : Dissapointment or Distress
Masih menurut Dawn, di tahap ini pasangan suami istri kerap saling menyalahkan, memiliki rasa marah dan kecewa pada pasangan, berusaha menang atau lebih benar dari pasangannya. Terkadang salah satu dari pasangan yang mengalami hal ini berusaha untuk mengalihkan perasaan stres yang memuncak dengan menjalin hubungan dengan orang lain, mencurahkan perhatian ke pekerjaan, anak atau hal lain sepanjang sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Dawn tahapan ini bisa membawa pasangan suami-istri ke situasi yang tak tertahankan lagi terhadap hubungan dengan pasangannya.  Banyak pasangan di tahap ini memilih berpisah dengan pasangannya.

Y      Tahap ketiga : Knowledge and Awareness
Dawn mengungkapkan bahwa pasangan suami istri yang sampai pada tahap ini akan lebih memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya. Pasangan ini juga sibuk  menggali informasi tentang bagaimana kebahagiaan pernikahan itu terjadi. Menurut Dawn juga, pasangan yang sampai di tahap ini biasanya senang untuk meminta kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada pasangan lain yang lebih tua atau mengikuti seminar-seminar dan konsultasi perkawinan.

Y      Tahap keempat: Transformation
Suami istri di tahap ini akan mencoba tingkah laku  yang berkenan di hati pasangannya. Anda akan membuktikan untuk menjadi pasangan yang tepat bagi pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman yang menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam mensikapi perbedaan yang terjadi. Saat itu, Anda dan pasangan akan saling menunjukkan penghargaan, empati dan ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.

Y      Tahap kelimaReal Love
Psikoterapis ini menjelaskan pula bahwa waktu yang dimiliki oleh pasangan suami istri seolah digunakan untuk saling memberikan perhatian satu sama lain. Suami dan istri semakin menghayati cinta kasih pasangannya sebagai realitas yang menetap. “Real love sangatlah mungkin untuk Anda dan pasangan jika Anda berdua memiliki keinginan untuk mewujudkannya. Real love tidak bisa terjadi dengan sendirinya tanpa adanya usaha Anda berdua,” ingat Dawn.
Hubungan dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan yang bisa diduga sebelumnya. Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut memang tidak terjadi secara mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang pasti.  Bisa jadi antara pasangan suami-istri, yang satu dengan yang lain, memiliki waktu berbeda saat menghadapi dan melalui tahapannya.

Referensi :



4.    Penyesuaian dan pertumbuhan dalam perkawinan

Hirning dan Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks dibandingkan yang terlihat. Dua orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian, masing-masing mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan, nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga harus menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang baru, anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan. 

Lasswell dan Lasswell (1987) mengatakan bahwa konsep dari penyesuaianperkawinan adalah bahwa dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan, dan harapan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan,kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.

Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan :

Y      Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983)mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Penelitian juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya dan kurang persiapan untuk menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut.
Tapi dalam hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).
Y      Agama
Hubungan antara agama dan penyesuaianperkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama di ketiga agama tersebut.

Y      Ras
Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas Sumatera Utara331983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing

Y      Pendidikan
Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan.
Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami istri dengan penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess & Wallin, dalam Dyer, 1983).

Y      Keluarga Pasangan

Salah satu hal yang harus dihadapioleh pasangan yang baru menikah adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumah tangga.


Referensi :



5.    Perceraian dan pernikahan kembali

Menikah Kembali setelah perceraian mungkin menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk mengambil keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya tariknya.
Penelitian menunjukan bahwa penduduk lansia Amerika hampir akan berlipat ganda pada tahun 2050, menurut laporan Pew Research. Seperti baby boomer memasuki masa pensiun, perhatian ada siapa yang akan merawat mereka dengan bertambahnya usia mereka. Secara tradisional, anak-anak telah menerima tanggung jawab pengasuhan, tapi peran-peran pengasuhan menjadi kabur karena keluarga lebih banyak terpengaruh oleh perceraian dan pernikahan kembali dibandingkan dekade sebelumnya. Lawrence Ganong, seorang profesor dan co-kursi di Departemen MU Pembangunan Manusia dan Studi Keluarga di Fakultas Ilmu Lingkungan Manusia (HES), mempelajari bagaimana perceraian dan pernikahan kembali mempengaruhi keyakinan tentang siapa yang harus merawat kerabat penuaan. Dia menemukan bahwa kualitas hubungan, riwayat saling membantu, dan keputusan sumber daya mempengaruhi ketersediaan tentang siapa yang peduli untuk orang tua dan orang tua tiri.
Menikah Kembali setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman, tinggalkan masa lalu dan berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari pernikahan sebelumnya.

Referensi :
http://www.news-medical.net/news/20111019/2320/Indonesian.aspx


6.    Single life
Batasan usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang memilih untuk tetap hidup melajang. Alasan yang paling sering dikemukakan oleh seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat posesif dan cemburu.
Banyak pria menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih mendapat prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi dan fokus pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah diperoleh. Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke luar kota dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang telah menikah.
 Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan terpaksa, selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa lajangnya dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang telah cocok di hati.
Referensi :

http://anisawanti.blogspot.com/


Analisa Artikel 
(http://www.kainsutera.com/keluarga/masalah-yang-khas-dalam-pernikahan.html)
 
 Masalah yang Khas dalam Pernikahan
Setiap pasangan mengalami benturan dalam pernikahan mereka, apakah perdebatan sederhana atau masalah-masalah yang sedang berlangsung. Kunci untuk memecahkan masalah yang khas dalam pernikahan adalah untuk mengakui dan mengatasi masalah sebelum menjadi tidak terkendali.

Komunikasi
Kurangnya komunikasi adalah masalah pernikahan yang khas. Nada tidak pantas, tidak mendengarkan dan pernyataan menuduh dapat menghambat kemampuan pasangan untuk berkomunikasi. Gaya komunikasi yang berbeda juga dapat menghambat komunikasi dalam pernikahan. Jika salah satu pasangan ekspresif dan menunjukkan emosi ketika berkomunikasi dan yang lainnya adalah orang yang detail atau berorientasi pada tugas, komunikasi dapat macet.

Finansial
Perjuangan finansial dapat meletakkan beban pada setiap pernikahan dan menyebabkan masalah yang sedang berlangsung. Jika salah satu pasangan membawa utang ke dalam pernikahan, pasangan lainnya mungkin mulai membenci hal ini. Selain itu, pasangan yang menghabiskan waktu mengkhawatirkan tentang utang memiliki sedikit waktu untuk berupaya membangun pernikahan yang kuat.

Keintiman
Seperti masalah lain, seperti masalah keuangan, pasangan dapat menderita karena kurangnya keintiman dalam pernikahan mereka. Stres kehidupan sehari-hari dan membesarkan anak-anak dapat menghentikan asmara bagi pasangan, yang dapat berdampak negatif pada pernikahan mereka. Keintiman memungkinkan pasangan untuk mengungkapkan cinta dan menunjukkan kasih sayang mereka. Tanpa itu, masalah kecil dalam pernikahan bisa berubah menjadi lebih besar dan lebih mengancam.

 Analisanya:
berdasarkan artikel di atas, masalah yang ada dalam perkawinan, menurut saya, terjadi apabila di dalam perkawinan itu sendiri tidak terdapatnya keseimbangan antar tiga komponen yang ada dalam teori segitiga cinta milik Sternberg, yang telah saya uraikan di atas. selain itu penyesuaian diri yang di hadapi pasangan dalam pernikahan menjadi peluang besar munculnya masalah khas yang ada dalam pernikahan. Mengetahui seluk-beluk hubungan dalam pernikahan, mungkin dapat meminimalisir masalah yang nanti akan terjadi, sehingga peluang untuk rusaknya pernikahan dapat di cegah sedini mungkin.
 



 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.


Pengikut

About Me

Foto Saya
diah ayu eka
Indonesia
saya adalah mahasiswi di universitas gunadarma yang bercita-cita pergi ke Jepang. motto hidupku adalah berbeda tidak selamanya bagus tetapi yang terbaik selalu berbeda. Yoroshiku...^o^
Lihat profil lengkapku