Tulisan III
Cinta
dan Perkawinan
Nah….
Setelah saya membahas tentang hubungan interpersonal, maka saatnya menuju
tentang akhir dari hubungan interpersonal. Kita semua setuju bukan, kalau ujung
dari hubungan interpersonal, pasti berkaitan dengan cinta dan perkawinan. Maka dari
itu, saya akan mencoba membahas tentang apa itu cinta? Cinta yang saya bahas
disini bukanlah cinta yang dialami oleh kaum labil seperti remaja, tetapi cinta
yang mengarah pada perkawinan. Menempuh
jalan cinta dengan perkawinan adalah pilihan bagi setiap orang. Makna
cinta itu sangatlah banyak, maka disini saya akan mencoba menjelaskannya secara
spesifik mengenai cinta, khususnya cinta dan perkawinan.
1.
Deskripsi cinta
dan perkawinan
Y
Cinta
Menurut
kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S Poerwadarminta, cinta adalah rasa
sangat suka (kepada) atau (rasa) sayang (kepada), ataupun (rasa) sangat kasih
atau sangat tertarik hatinya. cinta yang aku maksud di sini adalah cinta dengan
lawan jenis. Menurut
Sternberg (dalam Sternberg & Barnes, 1988), cinta bukanlah suatu kesatuan tunggal,
melainkan gabungan dari berbagai perasaan, hasrat, dan pikiran yang terjadi
secara bersamaan sehingga menghasilkan perasaan global yang dinamakan cinta.
Sternberg (1988) memiliki teori tentang
cinta yang dikenal sebagai teori segitiga cinta (The Triangular Theory of Love).
Dalam teori segitiga cintanya tersebut, Sternberg mencirikan cinta terdiri dari
tiga komponen, yaitu keakraban atau keintiman(intimacy), gairah (passion),
keputusan atau komitmen (decision/commitment). Keakraban atau keintiman adalah perasaan
dalam suatu hubungan yang meningkatkan kedekatan, keterikatan, dan keterkaitan.
Sebuah hubungan akan mencapai keintiman
emosional manakala kedua pihak saling mengerti, terbuka, saling mendukung, dan
merasa bisa berbicara mengenai apa pun juga tanpa merasa takut ditolak.
Gairah meliputi rasa kerinduan yang
dalam untuk bersatu dengan orang yang dicintai yang merupakan ekspresi hasrat
dan kebutuhan seksual atau dengan kata lain bahwa passion merupakan elemen
fisiologis yang menyebabkan sesorang ingin dekat secara fisik. Sedangkan Keputusan
atau komitmen adalah suatu ketetapan seseorang untuk bertahan bersama sesuatu
atau seseorang sampai akhir.
Menurut Sternberg, kondisi cinta yang
ideal akan tercipta apabila ketiga komponen cinta tersebut seimbang sehingga
membentuk segitiga sama sisi (yang menandakan bentuk cinta yang ideal sesuai
dengan teori segitiga cintanya yaitu The Triangular Theory of Love).
Y Perkawinan
Banyak konsep yang berbeda
menjelaskan tentang definisi perkawinan. Duvall dan Miller (1986)
mendefinisikan perkawinan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang diakui
dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak
mengasuh anak, dan saling mengetahui tugas masing-masing sebagai suami dan
istri. Menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 1 No 1 menyatakan bahwa
perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Munandar, 2001).
Gardiner & Myers (dalam Papalia,
Olds & Feldman, 2004) menambahkan bahwa perkawinan menyediakan keintiman,
komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan
dan kesempatan untuk pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas
dan harga diri.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di
atas dapat disimpulkan definisi perkawinan adalah ikatan lahir dan batin yang
suci antara pria dan wanita yang melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan
anak dan adanya pembagian peran suami – istri serta adanya keintiman, komitmen,
persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan
kesempatan untuk pengembangan emosional antara suami dan istri.
Referensi:
2. Bagaimana memilih pasangan
Dalam
memilih pasangan hidup, baik bagi laki-laki maupun perempuan keduanya memiliki
hak untuk memilih yang paling tepat sebagai pasangannya. Maka dari itu harus
benar-benar diperhitungkan ketika memilih pasangan yang baik. Bila ingin
pintar, seseorang harus rajin belajar, bila ingin kaya seseorang harus
berhemat, begitu pula tentang pasangan hidup. Bila menginginkan pasangan hidup
yang baik maka kita juga harus baik.
Tidak
ada sesuatu di dunia ini yang dapat dengan mudah kita peroleh tanpa adanya
pengorbanan. Segala sesuatu ada harga-nya termasuk bila ingin mendapatkan
pasangan hidup yang baik. Ya, dimulai dari diri sendiri. Bila kita bercita-cita
untuk mendapatkan pasangan hidup yang baik, maka kita sendiri harus baik.
Percayalah, Tuhan telah memasangkan manusia sesuai dengan karakter dan derajat
mereka masing-masing. Manusia yang baik hanyalah untuk manusia yang baik pula,
begitu pula sebaliknya.
Julianto
Simanjuntak dalam bukunya, menekankan bahwa dalam memilih pasangan harus ada kesepadanan
alias kecocokan. Karena ketika pada awal-awal berpacaran, kita sering lupa
mengenali kepribadian dan latar belakang pasangan. Jadi, cinta itu bukan hanya
sekedar mencintai atau dicintai. Tapi juga dituntut memahami latar belakang dan
kepribadian pasangan anda dengan sepenuhi hati.
Referensi
:
Julianto,Simanjuntak.2012.
Banyak Cocok Sedikit Cekcok, Seni
Memilih Teman Hidup dan Berpacaran Dewasa.Jakarta:Yayasan Peduli Konseling Nusantara (PELIKAN)
3. Seluk-beluk hubungan dalam
Perkawinan
Dawn J. Lipthrott, LCSW,
seorang psikoterapis dan juga marriage and relationship educator and coach,
mengatakan bahwa ada lima tahap perkembangan dalam kehidupan perkawinan, yaitu
:
Y Tahap
pertama : Romantic
Love
Tahap ini adalah saat Anda dan pasangan
merasakan gelora cinta yang menggebu-gebu. Ini terjadi di saat bulan madu
pernikahan. Anda dan pasangan pada tahap ini selalu melakukan kegiatan
bersama-sama dalam situasi romantis dan penuh cinta.
Y Tahap
kedua : Dissapointment
or Distress
Masih
menurut Dawn, di tahap ini pasangan suami istri kerap saling menyalahkan,
memiliki rasa marah dan kecewa pada pasangan, berusaha menang atau lebih benar
dari pasangannya. Terkadang salah satu dari pasangan yang mengalami hal ini
berusaha untuk mengalihkan perasaan stres yang memuncak dengan menjalin
hubungan dengan orang lain, mencurahkan perhatian ke pekerjaan, anak atau hal
lain sepanjang sesuai dengan minat dan kebutuhan masing-masing. Menurut Dawn
tahapan ini bisa membawa pasangan suami-istri ke situasi yang tak tertahankan
lagi terhadap hubungan dengan pasangannya. Banyak pasangan di tahap ini
memilih berpisah dengan pasangannya.
Y Tahap
ketiga : Knowledge
and Awareness
Dawn
mengungkapkan bahwa pasangan suami istri yang sampai pada tahap ini akan lebih
memahami bagaimana posisi dan diri pasangannya. Pasangan ini juga sibuk
menggali informasi tentang bagaimana kebahagiaan pernikahan itu terjadi.
Menurut Dawn juga, pasangan yang sampai di tahap ini biasanya senang untuk
meminta kiat-kiat kebahagiaan rumah tangga kepada pasangan lain yang lebih tua
atau mengikuti seminar-seminar dan konsultasi perkawinan.
Y Tahap
keempat: Transformation
Suami
istri di tahap ini akan mencoba tingkah laku yang berkenan di hati
pasangannya. Anda akan membuktikan untuk menjadi pasangan yang tepat bagi
pasangan Anda. Dalam tahap ini sudah berkembang sebuah pemahaman yang
menyeluruh antara Anda dan pasangan dalam mensikapi perbedaan yang terjadi.
Saat itu, Anda dan pasangan akan saling menunjukkan penghargaan, empati dan
ketulusan untuk mengembangkan kehidupan perkawinan yang nyaman dan tentram.
Y Tahap
kelima: Real Love
Psikoterapis
ini menjelaskan pula bahwa waktu yang dimiliki oleh pasangan suami istri seolah
digunakan untuk saling memberikan perhatian satu sama lain. Suami dan istri
semakin menghayati cinta kasih pasangannya sebagai realitas yang menetap. “Real
love sangatlah mungkin untuk Anda dan pasangan jika Anda berdua memiliki
keinginan untuk mewujudkannya. Real love tidak bisa terjadi dengan sendirinya
tanpa adanya usaha Anda berdua,” ingat Dawn.
Hubungan
dalam pernikahan bisa berkembang dalam tahapan yang bisa diduga sebelumnya.
Namun perubahan dari satu tahap ke tahap berikut memang tidak terjadi secara
mencolok dan tak memiliki patokan batas waktu yang pasti. Bisa jadi
antara pasangan suami-istri, yang satu dengan yang lain, memiliki waktu berbeda
saat menghadapi dan melalui tahapannya.
Referensi :
4. Penyesuaian dan pertumbuhan dalam
perkawinan
Hirning dan Hirning (1956) mengatakan
bahwa penyesuaian perkawinan itu lebihkompleks dibandingkan yang terlihat. Dua
orang memasuki perkawinan harus menyesuaikan satu sama lain dengan tingkatan
yang berbeda-beda. Untuk tingkat organismik mereka harus menyesuaikan diri
dengan sensori, motor, emosional dan kapasitas intelektual dan kebutuhan. Untuk
tingkat kepribadian, masing-masing mereka harus menyesuaikan diri dengan
kebiasaan, keterampilan, sikap, ketertarikan, nilai-nilai, sifat, konsep ego,
dan kepercayaan. Pasangan juga harus menyesuaikan dengan lingkungan mereka,
termasuk rumah tangga yang baru, anak-anak, sanak keluarga, teman, dan
pekerjaan.
Lasswell
dan Lasswell (1987) mengatakan bahwa konsep dari penyesuaianperkawinan adalah
bahwa dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan,
dan harapan.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan adalah dua orang
memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri dengan situasi baru
sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan kepribadian, lingkungan,kehidupan
keluarga, dan saling mengakomodasikan kebutuhan, keinginan dan harapan.
Banyak faktor sosial dan demografis
yang ditemukan memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut
ini beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan :
Y Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983)mengatakan
bahwa penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang
sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun.
Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan
rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Penelitian juga mengatakan bahwa
dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya
dan kurang persiapan untuk menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut.
Tapi dalam hal perbedaan usia,
penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa
akan lebih menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke;
Blode & Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan
bahwa usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam
penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).
Y
Agama
Hubungan antara agama dan
penyesuaianperkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu
ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak konsisten. Terman (dalam
Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama dari pasangan bukan faktor yang
berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama
(Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan
beda agama antara Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia
dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama di ketiga agama tersebut.
Y
Ras
Sejauh ini tidak ada penelitian
khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar ras sebagai variabelnya.
Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh
resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit yang mendukung pandangan ini
(Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer, Universitas
Sumatera Utara331983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan
bahwa perkawinan antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan
kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam
dan istri kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan
dengan rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih.
Dimana perbedaan sosial dan kultur
masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka
berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi
sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing
Y
Pendidikan
Data dari survei nasional mengatakan
bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian
perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan
yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan.
Penelitian terhadap perbedaan
pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas,
karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang
sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga
mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami istri
dengan penyesuaianperkawinan (Terman; Burgess & Wallin, dalam Dyer, 1983).
Y
Keluarga
Pasangan
Salah satu hal yang harus dihadapioleh
pasangan yang baru menikah adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya
dengan orang tua dan sanak saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam
hal saudara istri atau suami mengindikasikan bahwa masalah ini lebih
mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua
dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada
bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas
dan peran wanita dalam rumah tangga.
Referensi :
5.
Perceraian dan pernikahan kembali
Menikah Kembali setelah perceraian mungkin
menjadi keputusan yang membingungkan untuk diambil. Karena orang akan mencoba
untuk menghindari semua kesalahan yang terjadi dalam perkawinan sebelumnya dan
mereka tidak yakin mereka bisa memperbaiki masalah yang dialami. Mereka
biasanya kurang percaya dalam diri mereka untuk memimpin pernikahan yang
berhasil karena kegagalan lama menghantui mereka dan membuat mereka ragu-ragu untuk
mengambil keputusan.Sebagai manusia, kita memang mempunyai daya tarik atau daya
ketertarikan yang tinggi terhadap hal-hal yang baru. Jadi, semua hal yang telah
kita miliki dan nikmati untuk suatu periode tertentu akan kehilangan daya
tariknya.
Penelitian
menunjukan bahwa penduduk lansia Amerika hampir akan berlipat ganda pada tahun
2050, menurut laporan Pew Research. Seperti baby boomer memasuki masa pensiun,
perhatian ada siapa yang akan merawat mereka dengan bertambahnya usia mereka.
Secara tradisional, anak-anak telah menerima tanggung jawab pengasuhan, tapi
peran-peran pengasuhan menjadi kabur karena keluarga lebih banyak terpengaruh
oleh perceraian dan pernikahan kembali dibandingkan dekade sebelumnya. Lawrence
Ganong, seorang profesor dan co-kursi di Departemen MU Pembangunan Manusia dan
Studi Keluarga di Fakultas Ilmu Lingkungan Manusia (HES), mempelajari bagaimana
perceraian dan pernikahan kembali mempengaruhi keyakinan tentang siapa yang
harus merawat kerabat penuaan. Dia menemukan bahwa kualitas hubungan, riwayat
saling membantu, dan keputusan sumber daya mempengaruhi ketersediaan tentang
siapa yang peduli untuk orang tua dan orang tua tiri.
Menikah
Kembali setelah perceraian bisa menjadi kan pengalaman, tinggalkan masa lalu
dan berharap untuk masa depan yang lebih baik lagi dari pernikahan sebelumnya.
Referensi
:
http://www.news-medical.net/news/20111019/2320/Indonesian.aspx
6. Single life
Batasan
usia untuk menikah kini semakin bergeser, apalagi tingkat pendidikan dan
kesibukan meniti karir juga ikut berperan dalam memperpanjang batasan usia
seorang untuk menikah. Keputusan untuk melajang bukan lagi terpaksa, tetapi
merupakan sebuah pilihan. Itulah sebabnya, banyak pria dan perempuan yang
memilih untuk tetap hidup melajang. Alasan yang paling sering dikemukakan oleh
seorang single adalah tidak ingin kebebasannya dikekang. Apalagi jika mereka
telah sekian lama menikmati kebebasan bagaikan burung yang terbang bebas di
angkasa. Jika hendak pergi, tidak perlu meminta ijin dan menganggap pernikahan
akan membelenggu kebebasan. Belum lagi jika mendapatkan pasangan yang sangat
posesif dan cemburu.
Banyak
pria menempatkan pernikahan pada prioritas kesekian, sedangkan karir lebih
mendapat prioritas utama. Dengan hidup melayang, mereka bisa lebih konsentrasi
dan fokus pada pekerjaan, sehingga promosi dan kenaikan jabatan lebih mudah
diperoleh. Biasanya, pelajang lebih bersedia untuk bekerja lembur dan tugas ke
luar kota dalam jangka waktu yang lama, dibandingkan karyawan yang telah
menikah.
Melajang adalah sebuah sebuah pilihan dan bukan terpaksa,
selama pelajang menikmati hidupnya. Pelajang akan mengakhiri masa lajangnya
dengan senang hati jika telah menemukan seorang yang telah cocok di hati.
Referensi :
http://anisawanti.blogspot.com/
Analisa Artikel
(http://www.kainsutera.com/keluarga/masalah-yang-khas-dalam-pernikahan.html)
Masalah yang Khas dalam Pernikahan
Setiap pasangan mengalami benturan dalam
pernikahan mereka, apakah perdebatan sederhana atau masalah-masalah yang
sedang berlangsung. Kunci untuk memecahkan masalah yang khas dalam
pernikahan adalah untuk mengakui dan mengatasi masalah sebelum menjadi
tidak terkendali.
Komunikasi
Kurangnya komunikasi adalah masalah pernikahan yang khas. Nada tidak pantas, tidak mendengarkan dan pernyataan menuduh dapat menghambat kemampuan pasangan untuk berkomunikasi. Gaya komunikasi yang berbeda juga dapat menghambat komunikasi dalam pernikahan. Jika salah satu pasangan ekspresif dan menunjukkan emosi ketika berkomunikasi dan yang lainnya adalah orang yang detail atau berorientasi pada tugas, komunikasi dapat macet.
Kurangnya komunikasi adalah masalah pernikahan yang khas. Nada tidak pantas, tidak mendengarkan dan pernyataan menuduh dapat menghambat kemampuan pasangan untuk berkomunikasi. Gaya komunikasi yang berbeda juga dapat menghambat komunikasi dalam pernikahan. Jika salah satu pasangan ekspresif dan menunjukkan emosi ketika berkomunikasi dan yang lainnya adalah orang yang detail atau berorientasi pada tugas, komunikasi dapat macet.
Finansial
Perjuangan finansial dapat meletakkan beban pada setiap pernikahan dan menyebabkan masalah yang sedang berlangsung. Jika salah satu pasangan membawa utang ke dalam pernikahan, pasangan lainnya mungkin mulai membenci hal ini. Selain itu, pasangan yang menghabiskan waktu mengkhawatirkan tentang utang memiliki sedikit waktu untuk berupaya membangun pernikahan yang kuat.
Perjuangan finansial dapat meletakkan beban pada setiap pernikahan dan menyebabkan masalah yang sedang berlangsung. Jika salah satu pasangan membawa utang ke dalam pernikahan, pasangan lainnya mungkin mulai membenci hal ini. Selain itu, pasangan yang menghabiskan waktu mengkhawatirkan tentang utang memiliki sedikit waktu untuk berupaya membangun pernikahan yang kuat.
Keintiman
Seperti masalah lain, seperti masalah keuangan, pasangan dapat menderita karena kurangnya keintiman dalam pernikahan mereka. Stres kehidupan sehari-hari dan membesarkan anak-anak dapat menghentikan asmara bagi pasangan, yang dapat berdampak negatif pada pernikahan mereka. Keintiman memungkinkan pasangan untuk mengungkapkan cinta dan menunjukkan kasih sayang mereka. Tanpa itu, masalah kecil dalam pernikahan bisa berubah menjadi lebih besar dan lebih mengancam.
Seperti masalah lain, seperti masalah keuangan, pasangan dapat menderita karena kurangnya keintiman dalam pernikahan mereka. Stres kehidupan sehari-hari dan membesarkan anak-anak dapat menghentikan asmara bagi pasangan, yang dapat berdampak negatif pada pernikahan mereka. Keintiman memungkinkan pasangan untuk mengungkapkan cinta dan menunjukkan kasih sayang mereka. Tanpa itu, masalah kecil dalam pernikahan bisa berubah menjadi lebih besar dan lebih mengancam.
Analisanya:
berdasarkan artikel di atas, masalah yang ada dalam perkawinan, menurut saya, terjadi apabila di dalam perkawinan itu sendiri tidak terdapatnya keseimbangan antar tiga komponen yang ada dalam teori segitiga cinta milik Sternberg, yang telah saya uraikan di atas. selain itu penyesuaian diri yang di hadapi pasangan dalam pernikahan menjadi peluang besar munculnya masalah khas yang ada dalam pernikahan. Mengetahui seluk-beluk hubungan dalam pernikahan, mungkin dapat meminimalisir masalah yang nanti akan terjadi, sehingga peluang untuk rusaknya pernikahan dapat di cegah sedini mungkin.
0 komentar:
Posting Komentar